Encyclopedia Of Social and Cultural Anthropology

Kamis, 29 September 2011
Judul; Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology
Editor; Alan Barnard dan Jonathan Spencer
Tahun; 2002 (First Publish)
Penerbit; Routledge
Halaman; 688 Page
ISBN; 0415285585
"Ensiklopedia Antropologi Sosial dan Budaya ini memberikan pandangan tentang, ide-ide, argumen dan sejarah disiplin ilmu yang mengkaji mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat.
Teori, Etnografi dan Sejarah digabungkan dalam kurang lebih 230 tema besar dari beberapa topik, seperti Ras, Posmodernisme, Ilmu Sihir dan Esensialisme, Magic dan Metodologi.
CAKUPAN
  • Sejarah penelitian Antropologi, Kolonialisme, Orientalisme, Oksidentalisme, Teori-teori Budaya dan masyarakat.
  • Kekerabatan, Gender dan Keluarga, Pernikahan, Tubuh
  • Ritual dan Agama, Bahasa dan Linguistik, Puisi, Literasi, Estetika, Film, Museum.
  • Hubungan dengan disiplin ilmu lain (mis; arkeologi, sosiologi)
JANGAN LUPA SHARE LINK AND COMMENTNYA YACH!!!

Social Anthropology and Human Origins

Rabu, 28 September 2011
Judul; Social Anthropology and Human Origins
Pengarang; Alan Barnard
Tahun; 2011 (Edisi 1)
Penerbit; Cambrigde University Press, New York, US
"Buku ini baru saja saya download (skitar 15mnit yg lalu sblum postingan ini sy buat). Buku ini kiriman dari senior saya (Ka' Fez). Dalam buku ini Penulis memaparkan asal usul (Human Origins) dan perkembangan manusia, namun bukan dari sudut pandang Biologi (C. Darwin), Penulis menggunakan sudut pandang Sosial".
Review bukunya hanya singkat dan mungkin masih ad kekurangan, soalnya belum tuntas bacanya.. Diatas cuma review secara umum. So, yang tertarik buat miliki buku ini, bisa menghubungi saya (Via FB, Twitter or YM)..

Free Software; GenoPro 2007 V2.0.1.4

Selasa, 27 September 2011
Postingan kali ini bukan tentang Tulisan, Ebook atau Jurnal yang berhubungan dengan Ilmu Sosial, khususnya Antropologi.. Namun kali ini sy upload sebuah software. Loh!! trus.. apa hubungannya dengan dengan Antro?? Hubungannya, yah software ini dipake sbage alat bantu dalam sebuah riset (biar tdk cpek buat pohon kluarga scara manual), khususnya yg fokus risetnya mngenai kekerabatan, sperti yg kami lakukan wktu Paltihan Dasar Penelitian Antropologi tahun 2008 di Pulau Bone Tambu. Namun bukan hanya itu, fokus lainnya pun jga bisa pake koq (Struktur dan jaringan organisasi misalnya, dan msih banyak lgi, yg mesti ada bagan2nya..). Software ini pertama kali sy dpt dri Dosen sy (Ka’ Neil), trus yg ngajarin cara makenya Ka’ Fez ma Ka’ Yuli J...
Yah sudah basa-basinya.. nama softwarenya GenoPro 2007 versi 2.0.1.4, compitable di Windows XP, Vista ma Win7 (klo win8 kurang tau soalnya blum cobo., buat tmn2 yang tertarik untuk mencobanya.. silahkan di download softwarenya (link ad dibwah).
SELAMAT MENCOBA yah!!!!

KONSEP ADAPTASI, EKOSISTEM DAN LINGKUNGAN

Minggu, 25 September 2011
Dalam studi mengenai lingkungan sangat kental dengan konsep adaptasi, selain konsep lingkungan itu sendiri yang serupa dengan konsep ekosistem.
Adaptasi merupakan konsep yang telah lama digunaka dalam studi ekologi budaya/ekologi manusia sejak digunakan pertama kali oleh Julian Steward (1955). Dari sudut pandang ekologi manusia, Adapatasi difahami sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia dalam merespon umpan balik negatif dari lingkungan hidup suatu makhluk hidup[1]. Umban balik yang dimaksudkan adalah segalag perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, baik ekosistem/lingkungan biofisik dan sistem sosial[2].
 Berdasarkan hal tersebut ditas maka, adaptasi terbagi dalam tiga tipe; adaptasi cara fisiologi, adaptasi cara perilaku dan adaptasi cara kebudayaan[3]. Adaptasi cara fisoliologi dan cara perilaku merupakan adaptasi biologi atau evolusi, agar manusia dapat bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Sedangkan adaptasi secara kebudayaan atau adaptasi tipe ketiga, difahami sebagai; “proses budaya yang terjadi dalam rangka untuk memelihara keseimbangan antara populasi penduduk dengan sumber daya alam dalam suatu ekosistem”[4].
Dengan demikian, secara sederhana adaptasi merupakan respon dari hambatan yang bersifat negatif bagi makhluk hidup. Hambatan tersebut terjadi akibat keterbatasan fisik makhluk itu sendiri, selain memang telah menjadi hukum alam. Bagaimana pun juga, dalam hal ini yang menjadi inti adalah hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, dimana secara keseluruhan semuanya hidup dalam suatu ekosistem.

Strategi Adapatasi atau Penyesuaian Diri (Adjustment)
Secara umum, strategi adaptasi (adaptive stategy) dapat diartikan sebagai rencana tindakan yang dilakukan manusia baik secara sadar maupun tidak sadar, secara eksplisit maupun implisit dalam merespon berbagai kondisi internal atau eksternal[5]. Sementara itu, Marzali dalam bukunya menjelaskan secara luas strategi adaptasi adalah merupakan perilaku manusia dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan-pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi, dan ekologis di tempat dimana mereka hidup[6].
Berdasar penjelasan Amri Marzali diatas, sangat erat kaitannya dengan konsep lingkungan hidup dalam studi mengenai lingkungan, atau konsep lingkungan bianaan (managed ecosystem)[7], yaitu; lingkungan yang memiliki pengaruh dari manusia baik langsung maupun tidak langsung[8]. Konsep ini juga tertuang dalam Undanga-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup[9] , yakni Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesauan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan perikehidupan serta kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Adaptasi bukan hanya terjadi di satu tempat saja melainkan di berbagai tempat, tidak terkecuali di kota. Keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial di kota, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi. Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang diterapkan mencerminkan bentuk kognitif yang dipelajari melalui sosialisasi dari pendukung suatu budaya, yang kemudian diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang dihadapi[10]. Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi ditunjukkan dengan usahanya untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk tersebut[11].


[1] Emilio F. Moran. 1982:05. Human Adaptability; An Introduction to Ecological Anthropology. Westview Press. Boulder, Colorado.
[2] ibid
[3] ibid
[4] Johan Iskandar. 2009:209. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Padjadjaran.
[5] Op.cit Point 3. Hal.6
[6] Amri Marzali. 2003:26. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
[7] Op.cit Point 4. Hal.17 
[8] Moh. Soerjani, Rofiq Ahmad dan Rozy Munir (ed). 1987:3. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Penerbit UI-Press. Jakarta
[9] ibid
[10] Dr. Hari Poerwanto. 2006:242. Kebudayaan dan lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Cetakan Ketiga. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta
[11] Otto Soemarwoto. 2008:45. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Kesebelas. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Teori Strukturalisme dan Perkembangannya

Sabtu, 24 September 2011
Berbicara tentang teori Stukturalisme dalam disiplin ilmu Anthropology tentunya kita tidak bisa memisahkannya dari teori Fungsionalisme atau Stuktural-Fungsionalisme. Berdasarkan hal ini, jika ingin mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang terdapat dalam pemikiran strukturalisme, tentunya kita tidak bisa mengabaikan pemikiran Fungsionalisme atau Struktural-Fungsionalisme. Bahkan dalam perkembangannya hingga saat ini, pengaruh pemikiran Funsionalisme ini masih tetap besar dalam Antropologi. 
Penulis; Ruddy Agusyanto, M.Si

Struktural Levi Strauss dalam Si Kabayan

Kita tahu, bahwa sebuah dongeng merupakan gambaran kejadian pada zaman dahulu. Biasanya disampaikan dalam bentuk lisan. Kemudian pada perkembangan berikutnya cerita-cerita itu ditulis dan dipublikasikan. Dongeng mungkin cerita khayalan, tetapi dari situ kita bisa melihat bahwa khayalan dalam dongeng bukan khayalan yang tanpa pijakan. Dongeng tetap mempunyai sumber dari mana dirinya datang. Dalam hal inilah Levi Strauss mengatakan bahwa dongeng merupakan hasil dari nirsadar seseorang atau kelompok masyarakat. Karena itu untuk memahami struktur mitos dapat dijelaskan dengan menunjuk pada fungsinya, yakni sebagai media untuk mengembangkan suatu argumen logis dalam bentuk proposisi-proposisi. Melalui cara ini mitos dianggap dapat membantu memecahkan atau menjelaskan berbagai kontradiksi yang ada dalam berbagai kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat (Ahimsa, 2001). Melalui pemikiran tersebut, sebagai asumsi dasar, penulis mencoba menganalisis Si Kabayan dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme Levi Strauss.

Struktural-Fungsionalis

This article deals with the concepts of function and social structure, developed by two leading figures in British Social Anthropology, Radcliffe -Brown and Malinowski, before the Second World War. In this article, the author distinguishes Malinowski's concept of function from Radcliffe -Brown's, delineates Radcliffe-Brown's concept of social-structure and Evans-Pritchard's review of this concept. This article particularly inteds to help the Indonesia students to study anthropological theory in their own language.

Software; Save As PDF and XPS

File ini adalah file plugin dari microsoft word 2007 agar MS word 2007 bisa menyimpan file yg sudah kita ketik (mis; Microsotf Word) ke dalam format PDF dan XPS. TERTARIK???

untuk itu ikuti langkahnya;

  1. Download file  dari microsoft SaveAsPDFandXPS.exe
  2. Jalankan file SaveAsPDFandXPS.exe (klik 2x File)
  3. Kemudian ikuti instruksi instalasi SaveAsPDFandXPS
  4. Setelah instalasi, sekarang anda tinggal membuka dokumen Anda menggunakan microsoft office 2007, (contoh: microsoft word)
  5. Klik menu utama microsot word, kemudian pilih menu Save As
  6. Apabila instalasi SaveAsPDFandXPS benar maka seharusnya terdapat menu PDF and XPS dalam sub menu Save As. Kemudian klik Publish.

Etnomedisin

Salah satu tulisan ahli antropologi yakni Erwin Ackerknecth pada tahun 1940-an, tanpa malu-malu membahas mengenai pengobatan primitif, hal ini dikarenakan mereka melakukan penelitian pada masyarakat primitif. Namun pada saat setelah Perang Dunia II, studi antropologi berubah dari masyarakat primitif ke masyarakat desa, membuat para ahli antropologi dalam hal mendeskripsikan sistem medis yang berbeda dengan sistem medis barat merasa kebingungan mengenai peristilahan. Seperti istilah Redfield yakni “pengobatan rakyat” (folk medicine), yang menimbulkan kebingungan, karena dalam masyarakat yang teknologinya maju, pengobatan populer sering pula disebut sebagai pengobatan “rakyat”.
Kebingungan tersebut bukanlah karena tidak relevannya istilah yang dulu (primitif) untuk digunakan pada saat sekarang, namun ketakutan akan kritikan karena istilah tersebut mengandung makna yang merendahkan. Hal ini terbukti dengan adanya ahli antropologi yang berusaha menghilangkan kata “primitif” pada setiap tulisannya, seperti Ackerknecth. Namun apabila berpindah dari kerangka tipe-tipe masyarakat kepada kerangka etiologi, kepada konsep-konsep tentang kausalitas penyakit, Foster dan Anderson tidak akan menghapus istilah sebelumnya, namun berpendapat bahwa apabila istilah-istilah yang digunakan dalam konteks sistem klarifikasi dengan label istilah-istilah yang relatif netral, maka istilah-istilah tersebut tidak akam merugikan siapa pun.............................
(ANTROPOLOGI KESEHATAN;FOSTER/ANDERSON;Hal;61-83)

ALAM, KEBUDAYAAN DAN YANG ILAHI

Jumat, 23 September 2011
Judul; ALAM, KEBUDAYAAN & YANG ILAHI
Penulis; Tony Rudyansjah
Tahun Terbit; Juni 2011 (Edisi 1)
Halaman ; xviii + 256 hlm.
ISBN; 978-602-99013-1-3

JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA Volume 2. NO. 4 Agustus 2003

Daftar Isi;
  1. Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya - Johsz R. Mansoben
  2. TOWE; Masyarakat Yang Hampir Punah - Djekky R. Djoht
  3. Kepercayaan Asli Orang Meybrat - Alberthus Heryanto
  4. Wor Sebagai Fokus dan Dinamika Hidup Kebudayaan Biak - Frans Rumbrawer
  5. Kebudayaan Suku Sebyar di Teluk Bintuni Papua Studi Kasus Desa Tomu - Enos Rumansara
  6. Pemahaman Hak Asasi Manusia Dari Sisi Hukum dan Budaya - Frans Reumi
  7. Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah Pemikiran Akademis

JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA Volume 1. NO. 3 April 2003

Daftar Isi;
  1. Sistem Politik Tradisional Etnis Byak; Kajian tentang Pemerintahan Tradisional - Johsz Mansoben
  2. Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim - A.E Dumatubun
  3. Waria Asli Papua dan Potensi Penularan HIV/AIDS Di Papua - Djekky R. Djoht
  4. Peran Sanggar Seni dalam Menunjang Kegiatan Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Koleksi Museum-museum di Papua - Enos Rumansara

Jurnal Antropologi Papua Vol.1 No.1 Desember 2002

Daftar Isi;
  1. ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN
  2. PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA
  3. J. VAN BAAL SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA
  4. KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN

Jurnal Antropologi Papua Vol.1 No.2 Desember 2002

DAFTAR ISI;
  1. Makanan Pada Komuniti adat Jae; Catatan Sepintas Lalu dalam Penelitian Gizi - Frans Apomfires
  2. Status Penggunaan dan Pemilikan Tanah dalam Pengetahuan Budaya dan Hukum Adat Orang Byak - Mientje D.E Roembiak
  3. Pola dan Struktur Jaringan Sosial Ekonomi Transmigran Lokal Penduduk Asli Papua di Koya Tengah Kabupaten Jayapura - Simon Abdi K. Frank
  4. Etnobotani Pisang Suku Karon; Studi tentang Pengetahuan Lokal - Djekky R. Djoht

Review; MAKNA LAGU ARA DALAM RITUAL PENTI PADA GUYUP TUTUR ETNIK MANGGARAI DI FLORES

FRANSISKUS BUSTAN
MAKNA LAGU ARA DALAM RITUAL PENTI PADA GUYUP TUTUR ETNIK MANGGARAI DI FLORES
LINGUISTIKA Vol. 15, No. 28, Maret 2008
SK Akreditasi Nomor: 007/BAN PT/Ak-V/S2/VIII/2006
ISSN:


Fenomena bahasa yang dipakai satu kelompok etnik atau suku bangsa, baik dalam tataran interaksional makro maupun dalam tataran interaksional mikro, bukan merupakan sebuah entitas dan realitas yang berdiri sendiri, tetapi berhubungan erat dengan kebudayaan yang mewadahinya. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan yang dianut satu kelompok etnik, menurut Hymes dalam Kupper dan Jessica (2000), dapat dilihat dari tiga perspektif terkait, yakni bahasa sebagai unsur budaya, bahasa sebagai indeks budaya, dan bahasa sebagai simbol budaya. Fenomena pemakaian bahasa sebagai unsur budaya tercermin dalam tuturan ritual, lagu atau nyanyian rakyat, ungkapan, teka-teki, pepatah, dan sebagainya. Fenomena pemakaian bahasa sebagai indeks budaya dapat dilihat dalam cara pengungkapan pikiran dan pengalaman mereka dalam menyingkap dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik. Sebagai simbol budaya, bahasa mencirikan keberadaan kelompok etnik bersangkutan sebagai satu kelompok etnolinguistik atau satu guyub tutur tersendiri. Dalam perspektif ini, menurut Bustan (2005a), fenomena bahasa yang dipakai satu kelompok etnik tidak hanya berfungsi sebagai pemarkah kedirian mereka sebagai satu kelompok etnolinguistik atau guyub tutur, tetapi juga menjadi fitur pembeda dengan kelompok etnolinguistik atau guyub tutur yang lain.
Dalam tulisan ini, dikaji secara khusus dan mendalam tentang fenomena pemakaian bahasa sebagai unsur budaya pada guyup tutur etnik Manggarai yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Manggarai di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengingat masalah tersebut memiliki cakupan yang sangat luas, penulis memilih fokus mengenai makna tekstual dan kontekstual satuan bahasa yang digunakan dalam lagu Ara. Dimana yang dimaksud dengan ‘lagu Araadalah salah satu lagu atau nyanyian rakyat Manggarai yang biasa dinyanyikannya dalam konteks ritual penti, ritual tahun baru adat pertanian yang dirayakannya sebagai pertanda peralihan tahun musim dari tahun musim yang lama ke tahun musim tanam yang baru (Bustan, 2005a; Bustan, 2005b; Bagul, 1997; Lawang, 1999). Makna budaya yang terkandung dalam satuan bahasa atau kode linguistik yang digunakan dalam lagu Ara memiliki karakteristik yang khas dan khusus dalam realitas sosial budaya guyup tutur etnis Manggarai. Kekhasan dan kekhususan karakteristik makna yang tersurat dan tersirat dalam satuan bahasa tersebut tidak hanya bertautan dengan ritual penti sebagai konteks situasi, tetapi juga berkaitan dengan konteks budaya Manggarai secara keseluruhan sebagai lingkungan non-verbal yang memberi makna atau nilai terhadap lagu Ara. Alasan lain yang mendasarinya adalah bahwa, belum ada hasil kajian yang mendalami secara khusus makna lagu Ara ditinjau dari perspektif linguistik kebudayaan dengan menggunakan rancangan etnografi dialogis dan perspektif emik sebagai sebuah inovasi keilmuan dalam penelitian hubungan kebudayaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa, lagu Ara merupakan salah satu produk dan praktek budaya Manggarai tetesan masa lalu yang bersifat multidimensional dan sarat makna. Dikatakan demikian karena, selain menyandang makna religius sebagai dimensi makna paling utama, dalam satuan bahasa yang dipakai dalam lagu Ara tergurat pula makna sosiologis dan makna estetis yang terajut dalam satu kesatuan dengan konteks ritual penti dan konteks budaya Manggarai secara keseluruhan. Dalam makna tersebut tersurat dan tersirat seperangkat gagasan dan cara pandang warga guyup tutur etnik Maggarai tentang dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik atau dunia imaginatif yang keberadaan objek yang menjadi rujukannya hanya berada dalam tataran ideasional atau mewujud dalam bentuk peta pengetahuan, sesuai realitas sosial-budaya yang dihadapi dan dialaminya.

Makna Religius
Makna religius lagu Ara berkaitan dengan persepsi guyup tutur etnik Manggarai tentang eksistensi Tuhan (Morin agu Ngaran), roh leluhur (ende agu ema), dan roh alam (ata pele sina). Ketiga kekuatan supranatural tersebut diyakini sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat menentukan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat dalam ziarah kehidupannya di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
MAKNA SOSIOLOGIS
Selain mengandung makna religius, lagu Ara tersebut juga mengandung makna sosiologis, dimana satuan bahasa yang digunakan dalam lagu tersebut menyiratkan makna tentang pentingnya pemertahanan nilai persatuan yang dilandasi rasa kebersamaan sebagai saudara satu wa’u yang merupakan salah satu simpul utama untuk menunjang dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat. Selain menyatu dalam pikiran dan perasaan, diharapkan pula agar nilai persatuan itu menyata dalam berbagai perbuatan dan tindakan-tindakan ragawi mereka setiap hari di tengah masyarakat dengan tetap dan selalu mengedepankan kepentingan sosial-kolektif satu wa’u di atas kepentingan perseorangan. Alasan utama yang mendasarinya adalah bahwa, kesalehan ritual penti yang sebagiannya tercermin dalam satuan bahasa yang dipakai dalam lagu Ara ditakar secara empiris dalam kesucian sosial mereka dalam konteks kehidupannya setiap hari sebagai manusia dan masyarakat, yang pantulannya dapat dilihat dalam perilaku hidupnya setiap hari, terutama dalam lingkup kekerabatan wa’u sebagai klan patrilineal-genealogis.
MAKNA ESTETIS
Makna estetis lagu Ara berkenaan dengan nilai rasa seni yang tidak hanya mengandung nilai kenikmatan bentuk, tetapi juga mengundang nilai kenikmatan inderawi. Nilai rasa seni tersebut terajut dalam satu kesatuan dengan pemakaian fenomena puisitas guna menimbulkan efek musikal ketika lagu Ara didendangkan.
Bersetalian dengan konteks situasi dan konteks budaya yang melatarinya, dalam dan di balik fenomena puisitas tersebut tergurat seperangkat nilai kegunaan berupa nilai intrumental dan nilai kehidupan. Perangkat nilai tersebut berfungsi sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga guyup tutur etnik Manggarai dalam penataan perilaku hidupnya demi pemertahanan keselarasan hubungan transedental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, serta keselarasan hubungan sosial kemasyaratan terutama dalam lingkup kehidupan satu wa’u sebagai klen patrilineal-genealogis. Ini berarti bahwa, selain sebagai wahana rekonsiliasi transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, lagu Ara merupakan wahana rekonsiliasi sosial bagi warga satu wa’u.

USAHA IKAN HIDUP DI PULAU SAUGI, PANGKEP

PENDAHULUAN
Fenomena geografi dan potensi kelautan, demografi dan masyarakat dengan sejarah yang sarat dengan budaya maritim merupakan salah satu kajian Antropologi  dan menjadikan kelautan sebagai pola ilmiah. Sebab fenomena fisik alam kelautan yang merupakan objek dan fakta empirik general bagi pandangan saintis, sesungguhnya dilapisi keatas dengan fenomena budaya yang bervariasi dari suatu tempat dan masyarakat ke tempat-tempat dan masyarakat-masyarakat lainnya di dunia. Fenomena demografi dan budaya maritim yang melalui proses dinamika karena pengaruh kekuatan-kekuatan internal/konteks lokal dan eksternal merupakan kajian sosial budaya.
Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari daratan. Selain itu, pulau-pulau kecil dan daerah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang juga tersebar di kawasan Nusantara tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak mengherankan bila Indonesia disebut sebagai Negara Kepulauan. Menurut para ahli, di wilayah laut Indonesia ditemukan kurang lebih 7.000 jenis ikan. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, karena Indonesia memiliki ekosistem-ekosistem pesisir berupa hutan mangrove, terumbu karang yang indah dan padang lamun yang sangat luas serta beragam.
Laut Indonesia mempunyai potensi lestari 6,4 juta ton pertahun, penangkapan yang diperoleh sekitar 80% dari sumber daya perikanan, jadi jumlah tangkapan yang diperoleh di laut sekitar 5,12 juta ton per tahun. Tak perlu disangsikan lagi betapa banyak kekayaan-kekayaan laut yang bangsa Indonesia miliki, bahkan mungkin paling banyak diantara negara-negara yang di dunia. Namun sayang, eksplorasi dan eksploitas kekayaan tersebut lebih banyak diminati oleh bangsa lain. Sebagai contoh ikan-ikan yang berkualitas baik, lebih banyak di ekspor keluar negeri ketimbang dikonsumsi oleh rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tentunya memiliki dampak kurang baik bagi rakyat Indonesia sendiri, disatu  sisi memang nelayan mendapatkan uang, namun itu berarti gizi dari ikan yang semestinya diperoleh anak Indonesia untuk mencerdaskannya, dikonsumsi oleh orang-orang di negara maju, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Thailand, dan negara maju lainnya.
Pada makalah ini kita akan membahas mengenai Usaha Ikan Hidup atau Usaha Karamba yang banyak ditemukan pada nelayan di pesisir dan pulau-pulau di Nusantara dan Sulawesi Selatan pada khususnya. Untuk mengambil suatu objek maka pada makalah ini mengambil objek studi di Pulau Saugi, dengan alasan perkembangan aktifitas/usaha perikanan yang membuat nelayan beralih dari menangkap berbagai spesies laut ke usaha/aktifitas menangkap ikan hidup. Karena meningkatnya permintaan ikan hidup (jenis-jenis sunu, kerapu, Napoleon/Langkoe) di pasar ekspor (Singapura, Hongkong, Taiwan, Thailand).
Adapun mengenai demografi dan masyarakat di pulau Saugi pada umumnya sama dengan pulau di sekitarnya seperti pulau Satando, Bangko-Bangkoang, Sapuli, Sabutung, Sagara, Salemo dan Sabangko. Salah satu pulau yang terletak di wilayah perairan barat kota Pangkep, Pulau yang luasnya kurang lebih 0,5 He, berada di kawasan laut yang oleh kalangan kelautan mengenalnya dengan sebutan kawasan Spermonde (sebutan untuk kawasan laut pada masa penjajahan Belanda). Jarak dari Kota Pangkep ke Pulau Saugi adalah kira-kira 30 km atau memakan waktu perjalanan kira-kira 20 menit dengan menggunakan kapal-kapal/motor-motor. Setiap harinya kapal-kapal/motor-motor yang mengangkut penumpang dari pulau Saugi ke pelabuhan Labakkang tidak tetap, biasanya 2-3 kapal-kapal. Dari data-data kelurahan menyebutkan bahwa lebih dari 132 KK, yang dihuni oleh beberapa kelompok etnis (Makassar, Bugis). Masyarakat di pulau tersebut ditemukan umumnya merupakan kerabat. Adapun sektor ekonomi atau mata pencaharian yang paling utama adalah profesi sebagai nelayan.
Dari sekian banyak nelayan yang terdapat di pulau tersebut dari hasil penelitian LPMA HUMAN hanya menemukan 1 pengusaha ikan hidup dan 5 nelayan pemancing ikan hidup dan kebanyakan dari pulau-pulau sekitarnya, seperti Sabangko, Sapuli dan Labakkang.

PEMBAHASAN 
A.    SEJARAH USAHA IKAN HIDUP
 Sejak tahun 80-an usaha ikan hidup belum berkembang secara pesat, ditandai dengan kurangnya jumlah perahu motor kecil dan jumlah nelayan pemancing yang masih sedikit. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya permintaan di pasar. Namun memasuki tahun 90-an, permintaan ikan hidup (jenis-jenis sunu, kerapu, Napoleon/Langkoe) di pasar ekspor (Singapura, Hongkong, Taiwan, Thailand) semakin meningkat sehingga  jumlah perahu motor kecil (5-10 PK) yang masuk ke desa-desa nelayan mulai bertambah, terutama desa-desa penggarap sumber daya kawasan karang.  Hal inilah yang membuat sebagian besar nelayan pulau dalam kawasan Spermonde (selat Makassar), beralih dari menangkap berbagai spesies hasil laut ke usaha/aktifitas menangkap ikan dan lobster hidup di lokasi karang (dalam bahasa lokal disebut Taka-Taka). Membaiknya kondisi harga dan relatif kecilnya investasi dalam usaha ikan hidup tersebut, yaitu bervariasi dari 5-15 juta rupiah per unit usaha (mencakup komponen : perahu kecil, motor kecil, pancing), mendorong para nelayan yang sebelumnya aktif dalam kelompok-kelompok besar dengan status sebagai sawi kemudian pecah kedalam kelompok-kelompok kecil yang berarti terjadi peningkatan jumlah unit usaha baru bahkan sebagian besar nelayan berani menanggung resiko untuk menjadi pemilik dan aktif secara perorangan.
Pulau Saugi yang merupakan bagian dari kawasan Spermonde, meskipun mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan kepiting, tapi juga terdapat usaha ikan hidup. Hanya saja, mayoritas nelayan merasa lebih banyak memperoleh keuntungan dari usaha kepiting dan udang. Selain itu, faktor ekologi juga menjadi salah satu pengaruhnya. Dimana lokasi penangkapan jenis-jenis ikan hidup semakin jauh, sedangkan peralatan yang dimiliki tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh dari sekitar pulau.   

B.     LOKASI PENANGKAPAN
Lokasi-lokasi dimana nelayan pemancing ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon) beroperasi adalah di sekitar perairan pulau Saugi dan perairan pulau-pulau sekitar pulau Saugi. Lokasi-lokasi tersebut merupakan daerah karang yang oleh nelayan disebut dengan Taka. Taka yang merupakan lokasi penangkapan ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon), menurut nama yang diberikan nelayan adalah:
1.      Siborong ( disekitar Pulau Saugi dan Pulau Sapuli)
2.      Ambong (disekitar Pulau Satando dan Pulau Bangko-Bangkoang)
3.      Endea (disekitar Pulau Saugi dan Pulau Satando) 
4.      Empang (disekitar Pulau Sagara dan Pulau Sabangko)
Selain beroperasi di lokasi tersebut, nelayan pemancing biasa juga beroperasi di sekitar daerah gusung, seperti:
1.      Gusung Lompoa (disekitar Pulau Camba-Camba dan Pulau Satando)
2.      Gusung Pamarrung (sebelah utara Pulau Saugi)
3.      Gusung Kuritayya (disekitar Pulau Samatallu)
4.      Gusung Mawarayya (bagian barat Pabrik Semen Tonasa)
5.      Gusung Toriaja (bagian barat Pulau Sakuala)
6.      Gusung Ca’di (bagian barat Pulau Sakuala)
Nelayan pemancing biasanya mulai beroperasi sekitar pukul 18.00 hingga dini hari. Dalam beroperasi nelayan pemancing menggunakan alat tangkap yaitu pancing rawe. Pancing rawe adalah pancing yang cara penggunaannya di bentangkan disekitar taka atau gusung, yang memiliki kurang lebih 100 mata kail. Mata kail yang digunakan adalah mata kail no 8. Selain pancing rawe, alat tangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan pemancing adalah pancing kedo-kedo (digunakan oleh nelayan pemancing dari Pulau Kapoposan).

C.    STRATEGI USAHA IKAN HIDUP
Dalam menjalankan suatu usaha, terdapat strategi-strategi yang digunakan demi kelancaran usaha tersebut. Seperti halnya pada usaha ikan hidup, terdapat beberapa hal yang diperhatikan, yang pertama mengenai organisasi kerja dimana di dalamnya terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal lainnya adalah pemeliharaan dan perawatan ikan hidup yang hampir kesemuanya dilakukan oleh pemilik karamba.
1.      ORGANISASI KERJA
Di pulau Saugi, dimana terdapat komuniti-komuniti nelayan dikenal kelompok-kelompok punggawa-sawi, yang menurut keterangan dari informan dari setiap desa nelayan yang ada Sulawesi Selatan dan di pulau Saugi pada khususnya, hal tersebut telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun. Struktur inti/elementer kelompok organisasi ini ialah ponggawa laut/juragan dan sawi-sawi. Ponggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktifitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan manejerial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh ponggawa laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk mengembangkan mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap tingggal di darat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut ponggawa darat. Untuk memimpin pelayaran dan aktifitas produksi di laut, ponggawa darat merekrut juragan-juragan baru menggantikan posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang/meningkat jumlahnya. Para juragan/ponggawa laut dalam proses dinamika ini sebagian lainnya masih berstatus pemilik, sedangkan sebagian lagi hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang merekrut sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar disebut ponggawa lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi baik dalam bentuknya elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun yang lebih kompleks (eksportir/bos-Ponggawa pulau-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat memberi servis ekonomi dan sosial, sedangkan dari bawah hubungan mengandung muatan moral dan modal sosial.
Dalam karakteristik fungsional pekerja yang berlaku pada Usaha Ikan Hidup, dikenal ponggawa  dan sawi dengan pembagian peran sebagai berikut:
1.      Eksportir/Bos di Makassar, bertugas membeli hasil tangkapan dari Poggawa karamba di Pulau kemudian mengekspor ke luar negeri.
2.      Ponggawa pulau, bertugas membeli ikan dari nelayan pemancing.
3.      Pabalolang, bertugas mengantar/mendistribusikan ikan dari Ponggawa Karamba di pulau kepada eksportir/Bos di Makassar.
4.      Nelayan pemancing, bertugas menangkap/memancing ikan hidup di taka-taka atau gusung kemudian menjualnya ke Ponggawa Pulau.   

2.      PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN IKAN HIDUP
            Salah satu tahap kegiatan yang dilalui hasil laut/tangkapan khususnya ikan hidup sebelum dijual kepada eksportir yang berkedudukan di Makassar adalah pemeliharaan dan perawatan. Tahap ini sangat penting mengingat ikan hidup yang dibeli dari nelayan pemancing biasanya mengalami cacat ikan hidup yang dapat mempengaruhi harga saat didistribusikan serta resiko kematian, seperti ikan Kerapu yang cepat mati. Hal ini dapat menyebakan kerugian. Adapun  tahap-tahap pemeliharaan dan perawatan ikan hidup sebelum didistribusikan ke Makassar:
a. Di Karamba
Untuk menghindari kerugian, seperti terdapat ikan lecet dan lemas yang dapat menyebakan kematian. Ikan hidup yang dibeli dari nelayan, tidak langsung didistribusikan ke Makassar. Sehingga terlebih dahulu dipelihara dan dirawat dalam karamba. Pemeliharaan biasanya dilakukan selama 3-5 hari, agar ikan kembali sehat. Dalam proses pemeliharaan dan perawatan, jika terdapat ikan yang lemas maka akan disuntikkan obat teramisin. Tidak hanya saat nelayan datang menjual ikan hidup, terdapat ikan yang cacat. Namun saat pemeliharaan dan perawatan ikan dalam karamba biasa juga mengalami cacat, dikarenakan jumlah ikan yang melebihi kapasitas daya tampung karamba sehingga ikan di dalamnya saling bergesekan. Hal ini seringkali terjadi saat musim barat. Selain pemeliharaan dan perawatan ikan hidup, kebersihan karamba juga selalu diperhatikan, karena apabila tidak diperhatikan kebersihannya, tiram-tiram akan menempel yang dapat menyebakan ikan lecet. Untuk itu biasanya karamba dibersihkan 3-5 bulan sekali.
Dalam proses pemeliharaan dan perawatan dalam karamba selain resiko cacat, kerugian lain yang biasa dialami ialah resiko kematian. Karena cacatnya terdapat dimata ikan yang tertusuk mata kail saat dipancing.
b. Di Jolloro’
Sama halnya dengan di karamba, saat akan dibawa ke Makassar juga ada pemeliharaan di jolloro’ agar ikan hidup tidak mengalami kecacatan dan atau kematian saat perjalanan. Di jolloro’ terdapat wadah yang memang khusus digunakan sebagai tempat penyimpanan ikan pada saat akan dibawa, wadah tersebut memiliki saluran air sehingga air dalam wadah tersebut dapat terganti dengan sendirinya. Kemudian jika dalam perjalanan terdapat ikan yang lemas, maka akan disuntikkan lagi teramisin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah ikan yang akan dibawa harus sesuai dengan kapasitas wadah yang ada di jolloro’. 

D.    DISTRIBUSI DAN PEMANFAATAN HASIL
Proses distribusi dan pemanfaatan hasil merupakan bagian yang penting dalam usaha ikan hidup. Dimana hal-hal yang menjadi bagian dari proses tersebut antara lain jenis-jenis ikan yang menjadi tangkapan ikan hidup. Kemudian penentuan harga yang berdasarkan dengan jenis ikannya, setelah itu pendistribusian melalui jaringan pemasaran yang tidak hanya dipasarkan di dalam negeri tetapi juga di ekspor sampai ke luar negeri. Hal yang terakhir setelah penjualan dilakukan yaitu bagi hasil. 
1.      JENIS-JENIS IKAN
Dalam usaha ini tidak semua ikan dapat dijadikan sebagai hasil tangkapan untuk dijual, tetapi hanya jenis-jenis ikan tertentu. Adapun jenis-jenis ikan yang banyak diperjualbelikan di pasar ekspor, antara lain :
1.      Ikan Sunu :
a  Ikan Sunu Merah
a  Ikan Sunu Bone
a  Ikan Sunu Tikus
2.      Ikan Kerapu :
a  Ikan Kerapu Lumpur
a  Ikan Kerapu Tiger
3.       Napoleon
Selain jenis-jenis ikan diatas, terdapat juga beberapa jenis Lobster yang diperjualbelikan, seperti lobster bambu dan jenis lobster lainnya.
Sebelum permintaan pasar ekspor akan ikan hidup meningkat, penangkapan jenis-jenis ikan diatas oleh para nelayan jarang dilakukan. Hal ini disebabkan karena jarangnya permintaan konsumen, sehingga minimnya keuntungan yang diperoleh para nelayan.

2.      PENENTUAN HARGA
Harga ikan hidup ( jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) di tingkat pengeksporan yang berkedudukan di Makassar (Cambayya, Paotere dan PPI Paotere serta Tanjung Bunga) tidak terdapat variasi harga, namun harga dipulau memiliki variasi. Variasi harga tersebut didasarkan pada proses pendistribusian ikan hidup ke Makassar. Adapun harga ikan hidup(jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) yang berlaku di Pulau Saugi saat penelitian ini dilakukan diperlihatkan pada Tabel. 1 dibawah ini:

Tabel. 1  Harga Ikan Hidup saat melakukan penelitian di Pulau saugi
Jenis Ikan
Ukuran
Harga Pulau
Harga Makassar
1. Ikan Sunu Merah
Baby  (3 - 5 ons)
Rp.   94.000
Rp. 100.000
Super (6 ons -1 kg)
Rp. 244.000
Rp. 250.000
2. Ikan Sunu Bone
Baby  (3 - 5 ons)
Rp.   44.000
Rp.   50.000
Super (6 ons – 1 kg)
Rp.   96.000
Rp. 100.000
3. Ikan Sunu Tikus
Baby  (3 – 5 ons )
Rp. 144.000
Rp. 150.000
Super (6 ons – 1 kg)
Rp. 294.000
Rp. 300.000
4. Ikan Kerapu Tiger
Baby  (3 – 5 ons)
Rp.   19.000
Rp.   25.000
Super (6 ons – 1 kg)
Rp.   40.000
Rp.   50.000
5. Ikan Kerapu Lumpur
3 ons – 2 kg
Rp.   14.000
Rp.   20.000
6. Ikan Napoleon
Baby  (3 – 5 ons)
Rp. 144.000
Rp. 150.000
Super (6 ons – 1 kg)
Rp. 294.000
Rp. 300.000
7. Lobster
Baby  (3 – 5 ons)
Rp. 144.000
Rp. 150.000
Super (6 – 8 ons)
Rp. 164.000
Rp. 170.000
            Harga di atas merupakan harga beli perusahaan ekpor di Makassar yang berbeda dengan harga ikan yang diberikan oleh para Ponggawa Karamba. Biasanya harga ikan yang diberikan kepada nelayan memiliki selisih harga Rp. 6.000 dari harga yang diberikan oleh eksportir di Makassar. Menurut Ponggawa Karamba, penentuan harga kepada nelayan disesuikan dengan biaya opersional dan kemungkinan terjadinya kerugian akibat penurunan harga dikarenakan Ikan mengalami cacat seperti cacat pada sirip, ekor dan perut ikan serta matinya ikan saat pendistribusian ke Makassar.
Harga ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) relatif tetap dan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan harga ikan mati segar yang masuk ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), sehingga pengusaha ikan hidup di pulau memilih bertahan menjalankan usaha mereka walaupun turunnya harga ikan sulit untuk dihindari. Fluktuasi harga ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon) terjadi secara periodik terutama menjelang pergantian tahun (Tahun Baru) dan menjelang hari raya Imlek. 
3.      JARINGAN PEMASARAN
Seperti yang diketahui bahwa masyarakat nelayan adalah masyarakat yang sepenuhnya bergantung kepada pasar, baik untuk keperluan penjualan hasil produksinya maupun untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya. Berikut jaringan pemasaran Ikan untuk jenis Ikan Hidup:


»     Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan untuk pemasaran memiliki mekanisme seperti jaringan, dalam hal ini setiap nelayan yang telah mendapatkan hasil tangkapan biasanya dijual kepada ponggawa di pulau.
»     Transaksi antara nelayan dan Ponggawa berlansung di Pulau.
»     Hasil tangkapan yang telah dibeli Ponggawa Karamba, sebelum di bawa ke Makassar(eksportir) terlebih dahulu dirawat beberapa hari (3-5 hari).
»     Setelah dirawat, ikan hidup kemudian dibawa ke ekportir seperti di Cambayya (pelabuhan Paotere), PPI Paotere dan Tanjung Bunga  Makassar. Biasanya ikan hidup yang dibawa berkisar antara 20-30 kg.
»     Ikan hidup yang telah di beli eksportir tidak langsung diekspor, melainkan dirawat selama 1-2 hari. Setelah perawatan, ikan kemudian siap untuk diekspor. Dalam proses pengeksporan, ikan tidak dikirim dalam keadaan hidup namun terlebih dahulu dibius dengan teramisin sesuai lama perjalanan, kemudian dikirim melalui pesawat. Selain diekpor ke luar negeri, ikan hidup juga dikirim ke restoran seafood di Bali. Jumlah ikan hidup yang diekspor berkisar antara 50-100 kg.
»     Setelah tiba di Pasar Ekspor, ikan hidup lemas karena pengaruh bius. Agar kembali sehat, ikan hidup disuntik dengan teramisin. Kemudian dipasarkan ke restoran-restoran seafood.
Menurut Azis (1987) dalam konsep ekonomi, tingkat harga dan produksi optimum ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur biaya, penerimaan, dan bentuk pasar yang berlaku. Adapun keuntungan maksimum yang dihasilkan melalui tingkat produksi tersebut merupakan pencerminan, selisih antara penerimaan dan biaya rata-rata. Teori ekonomi juga menunjukkan bagaimana tingkat produksi optimum disesuaikan dengan dana yang tersedia dapat ditentukan melalui penggunaan kombinasi input atau teknologi tertentu, yang menghasilkan kondisi dimana rasio harga antara dua input mencapai nilai sama dengan rasio produk marginalnya.
4.      BAGI HASIL
Dalam perikanan laut pada umumnya, baik yang modern mapun tradisional, diterapkan sistem aturan bagi hasil, sebaliknya hanya sebagian kecil di antara perikanan modern berskala besar yang kapitalistik menerapkan sistem pengupahan. Untuk perikanan tradisional berskala kecil, secara umum aturan bagi hasil menetapkan bahwa setiap anggotanya memperoleh satu bagian pendapatan dari jumlah keseluruhan pendapatan per aktifitas yang dilakukan. Dalam perikanan model Usaha Karamba/Usaha Ikan Hidup, pembagian hasil dilakukan setiap kali setelah pemasaran ikan dilakukan diluar biaya operasional, seperti bahan bakar. Namun, pembagian hasil bukan dilihat dari peran dan status, tetapi karena bantuan jasa transportasi dan tenaga saat memasarkan ikan ke Makassar.